seputar islam

Kamis, 03 Mei 2012

JANGAN MENCARI-CARI KESALAHAN ORANG LAIN

Entah mengapa, ada dari kita yang selalu punya kecenderungan untuk menjadi sosok yang gemar sekali mencari-cari kesalahan orang lain. Lihat saja betapa mudahnya seseorang menuntut dan mengkritik orang lain. Sebenarnya boleh-boleh saja mengkritik teman atau siapa pun, tapi dalam menyampaikan kritik, saran atau sebuah koreksi, sebaiknya kita tetap menghormati orang yang kita kritik. Karena itu dalam menyampaikan informasi yang sifatnya sebuah koreksi, sebaiknya kita menyampaikannya dengan cara yang baik, ramah dan lembut. Dan jangan pernah menyampaikan dengan cara yang langsung menyudutkan dan menyalahkan, tapi kemukakanlah pendapat kita dengan cara yang baik, santun dan bijak. Berkatalah yang baik atau diam. Ya, kita sebagai manusia memang telah diberikan banyak sekali nikmat oleh Allah SWT termasuk nikmat dapat berbicara. Akan tetapi, banyak yang salah menggunakan nikmat ini. Mereka tidak mengerti bahwa mulut yang telah dikaruniakan oleh-Nya seharusnya dapat dijaga dengan baik dan digunakan hanya untuk kebaikan. Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang beriman kepada Allah, hendaklah ia berkata yang baik atau diam” (Muttafaq ‘Alaihi) Lalu dalam hadist lain disebutkan: “Allah SWT memberi rahmat keapda orang yang berkata baik lalu mendapat keuntungan, atau diam lalu mendapat keselamatan.” (HR. Ibnul Mubarak) Demikianlah, lidah seseorang itu sangat berbahaya sehingga dapat mendatangkan banyak kesalahan. Imam Ghazali telah menghitung ada 20 bencana karena lidah antara lain berdusta, ghibah (membicarakan orang lain), adu domba, saksi palsu, sumpah palsu, berbicara yang tidak berguna, menertawakan orang lain, menghina orang lain, mencari-cari kesalahan orang lain, dsb. Dalam mengkritik, kita harus bijak, kita juga harus memusatkan perhatian pada kemampuan orang yang kita kritik. Carilah satu kelebihan dalam diri orang tersebut. Walaupun tampaknya dimata kita kemampuannya kecil/sepele dan kita masih bisa jauh lebih baik dari orang tersebut. Namun, cobalah bertanya pada diri sendiri, bagaimana bila kita berada di posisi orang yang kita kritik, tanpa mempertimbangkan sedikitpun, kebenaran dan kemampuannya? Kita juga harus memeriksa kembali apa motif kita mengkritik (tanyakan dengan jujur pada diri sendiri). Dan tanyakan juga apa keuntungan yang kita raih setelah mengkritik dan mencari-cari kesalahan orang lain. Karena, apabila yang namanya kritik itu, hanyalah sebuah upaya untuk menonjolkan konsep tentang diri sendiri. Atau kadang untuk membuktikan bahwa kita lebih pintar dari orang yang kita kritik (yang kita cari-cari kesalahannya, kelemahannya). Jika motif kita seperti itu, maka segeralah berhenti untuk mengkritik dan mencari-cari kesalahan orang lain. Ketahuilah, tidak ada orang yang luput dari salah dan khilaf, dan begitupun diri kita. Daripada kita terus menerus menyibukkan dan melelahkan diri kita dengan mengorek-ngorek dan mencari-cari kesalahan dan kelalaian orang lain, yang bisa kita jadikan senjata untuk menyerangnya, bukankah lebih baik kita berpikir positif. Coba tanyakan dengan jujur pada diri kita sendiri, sudah mampukah kita berbuat lebih baik dari orang yang kita kritik atau kita cari-cari kesalahannya? Caranya hanya satu, yakni dengan pembuktian, lakukanlah ”sama persis” ”segala hal” yang dilakukan orang yang kita cari-cari kesalahannya. Kita buktikan pada diri sendiri dan dunia, apakah kita bisa melakukannya sama dengan orang yang kita cari-cari kesalahan/ kekurangannya, atau kita bisa melakukannya lebih baik dari orang tersebut? Semua ini hanya bisa diketahui dengan ”pembuktian”. Istilahnya, jangan cuma sekedar bisa meng-kritik atau mencari-cari kesalahan orang lain saja, coba lakukan terlebih dahulu, ”semua hal” yang dilakukan orang yang kita kritik atau yang kita cari-cari kesalahannya, kemudian lihat hasil yang kita capai, apakah hasil yang kita capai lebih baik darinya, sama dengannya atau lebih buruk darinya? Mampukah kita berbuat seperti dia, sebaik dia, atau lebih baik dari dia? Dan kalaupun ternyata kita memang mampu berbuat lebih baik daripada orang yang kita cari-cari kesalahannya/kritik, maka bersyukurlah, jangan sampai hal tersebut menjadikan kita ujub dan tidak berarti hal tersebut membolehkan kita meneruskan mencari-cari kesalahan orang lain, perhatikanlah hadits-hadits shahih terkait. Seorang ahli hikmah berkata, aku tidak pernah menyesali apa yang tidak aku ucapkan, namun aku sering sekali menyesali perkataan yang aku ucapkan. Ketahuilah, lisan yang nista lebih membahayakan pemiliknya daripada membahayakan orang lain yang menjadi korbannya. (mengutip perkataan, Dr. Aidh Bin Abdullah Al-Qarni. M.A.) Kita sebagai umat islam tidak berhak untuk mencari-cari kesalahan orang lain lalu menyebarkannya apalagi berusaha mempermalukan orang tersebut didepan umum, dengan menggunakan ilmu/kepandaian kita. Perhatikan sabda Rasulullah SAW berikut ini: ”Aku peringatkan kepada kalian tentang prasangka, karena sesungguhnya prasangka adalah perkataan yang paling bohong, dan janganlah kalian berusaha untuk mendapatkan informasi tentang kejelekan dan mencari-cari kesalahan orang lain, jangan pula saling dengki, saling benci, saling memusuhi, jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara” (H.R Bukhari, no (6064) dan Muslim, no (2563). Perhatikan firman Allah SWT berikut ini: ”Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS. Al Hujuraat [49] : 12) Perhatikan sabda Rasulullah SAW berikut ini: ”Tahukah kalian apa itu ghibah? Jawab para sahabat : Allah dan rasul-Nya yang lebih mengetahui. Maka kata Nabi saw: “engkau membicarakan saudaramu tentang apa yang tidak disukainya. Kata para sahabat: Bagaimana jika pada diri saudara kami itu benar ada hal yang dibicarakan itu? Jawab Nabi SAW: Jika apa yang kamu bicarakan benar-benar ada padanya maka kamu telah mengghibah-nya, dan jika apa yang kamu bicarakan tidak ada padanya maka kamu telah membuat kedustaan atasnya.”(HR Muslim/2589, Abu Daud 4874, Tirmidzi 1935) Abdullah bin Umar ra menyampaikan hadits yang sama, ia berkata, ” suatu hari Rasulullah SAW naik ke atas mimbar, lalu menyeru dengan suara yang tinggi :”Wahai sekalian orang yang mengaku berislam dengan lisannya dan iman itu belum sampai ke dalam hatinya. Janganlah kalian menyakiti kaum muslimin, janganlah menjelekkan mereka, jangan mencari cari aurot mereka. Karena orang yang suka mencari cari aurot saudaranya sesama muslim, Allah akan mencari cari aurotnya. dan siapa yang dicari cari aurotnya oleh Allah, niscaya Allah akan membongkarnya walau ia berada di tengah tempat tinggalnya (HR. At Tirmidzi no. 2032, HR. Ahmad 4/420. 421, 424 dan Abu Dawud no. 4880. hadits shahih) (keterangan: yang dimaksud dengan aurot disini adalah aib/cela atau cacat, kejelekan dan kesalahan. Dilarang mencari cari kejelekan/kesalahan seorang muslim untuk kemudian diungkapkan kepada manusia – tuhfatul Ahwadzi). Dari hadits di atas dapat digambarkan dengan jelas pada kita betapa besarnya kehormatan seorang muslim. Sampai sampai ketika suatu hari Abdullah bin Umar ra memandang Ka’bah, ia berkata: ” Alangkah agungnya engkau dan besarnya kehormatanmu. Namun seorang mukmin lebih besar lagi kehormatannya disisi Allah darimu. (HR Tirmidzi no. 2032) Jadi, sebaiknya kita memelihara perkataan dan perbuatan kita, memang tampaknya enak dan menyenangkan mengkritik orang lain, apalagi bila kita bisa menemukan celah dari hasil kita mengorek-ngorek kesalahan orang yang kita kritik, karena hal tersebut bisa kita jadikan senjata untuk melontarkan kritik kita. Tapi sebelum itu semua, cobalah terlebih dulu berusaha menjadi orang yang kita kritik, sangat penting untuk “melakukan sama persis, semua hal yang dilakukan orang yang kita kritik dan yang kita cari-cari kesalahannya” kita buktikan terlebih dahulu hasil pencapaian kita, apakah hasil yang kita capai sebaik dia, lebih baik dari dia, atau lebih buruk dari dia. Bagi seorang mukmin yang senantiasa merasa diawasi oleh Allah, wajib mengerti bahwa “perkataan” itu termasuk amalannya yang kelak akan dihisab: amalan baik maupun buruk. Karena pena Ilahi tidak meng-alpakan dan tidak akan pernah lalai ataupun menghapuskan satupun perkataan yang diucapkan manusia. Ia pasti mencatat dan memasukkannya ke dalam buku amal. Ingatlah bahwa semuanya, kelak harus kita pertanggungjawabkan dihadapan sang Illahi Robbi.

Jumat, 02 Desember 2011

BERBUAT IHSAN

Ikhwah fillah rohimakumullah
Marilah senantiasa kita tingkatkan kadar iman & takwa serta ihsan kita kepada Allah Aza Wa Jalla, Sholawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan & suri tauladan kita Nabi Muhammad SAW,beserta keluarganya,sahabatnya & para pengikutnya yang selalu istiqomah di jalan dakwah.

Ikhwah fillah rohimakumullah
Menurut tuntunan syariat ilsam,ihsan tidak sekedar sebagai tambahan saja,akan tetapi sebagai penyempurna yang menentukan. Iman merupakan dasar agama yang bersifat teori, Islam sebagai konsekuensi praktis, maka ihsanlah penyempurnanya.
Ihsan ini merupakan hal penting dalam kehidupan kita, terutama dalam kehidupan keagamaan. Kalau kita perhatikan dan sebagaimana kita rasakan, betapa banyak rahmat & karunia Allah yang dianugerahkan kepada kita. Karunia Allah yang tak seorang pun mampu menghitungnya, jika hanya diimbangi dengan rukun Islam yang lima saja tidak cukup. Kalau kita bersyahadat, hanya sholat fardu, hanya puasa ramadhan,hanya zakat,& hanya haji,maka lima macam ibadah ini tidak ada artinya, jika dibandingkan dengan nikmat & karunia Allah yang begitu banyak setiap detik,setiap waktu dilimpahkan kepada kita.
Oleh karena itu, dalam mensyukuri nikmat yang tak terhingga ini, Allah membuka jalan baru yang disebut dengan ihsan. Dengan ihsan inilah, umat islam diharapkan lebih dapat mengisafi & mensyukuri nikmat dari sang Illahi. Tuntunan ihsan ini diperintahkan oleh Allah Aza Wa Jalla dalam FirmanNya yang berbunyi :
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) dijalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan. Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”. (QS.Al-Baqarah(2) : 195)
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil & berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran & permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. An-Nahl : 90)
Kata ihsan dalam Alqur’an diulang sampai 12 kali, yang semuanya disampaikan secara singkat & padat. Jika ditinjau dari ilmu-ilmu Alqur’an, satu pernyataan yang disampaikan secara berulang-ulang berarti pernyataan tersebut merupakan pernyataan yang amat sangat penting.
Apakah makna / maksud ihsan itu? Rasulullah saw menjelaskan makna al-ihsan, yakni saat berdialog dengan malaikat Jibril : “...Jibril bertanya: Beritahu aku tentang ihsan? Beliau menjawab : Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia (Allah) melihtamu .....”. (HR. Muslim)
Dari ayat dan Hadits tersebut diatas, marilah kita mendengarkan penjelasan para ulama yang dalam hal ini adalah ulama ahli tafsir, At-Tabari menjelaskan , bahwa yang dimaksud ihsan adalah tabah melaksanakan perintah Allah, baik dalam keadaan lapang maupun dalam keadaan sempit. Sedang Ibnu Katsir menjelaskan bahwa yang dimaksud ihsan adalah Bila amalan sirriyahnya lebih baik dari amalan jahriyahnya (tentunya tidak meninggalkan amalan jahriyahnya). Yang dimaksud amalan sirriyah adalah amalan yang hanya diketahui dirinya sendiri, sedang yang dimaksud dengan amalan jahriyah adalah amalan yang dikerjakan secara bersama-sama, seperti sholat jum’at,fardu, zakat,puasa dan haji. Kemudian Al-Khazin, Tantawi Jauhari dan Al-Maragi menjelaskan al-ihsan dengan membalas kebaikan dengan yang lebih baik dan memaafkan kesalahan atau kejahatan orang lain.
Ikhwah fillah rohimakumullah
Dari beberapa penjelasan tersebut diatas dapat diketahui bahwa al-ihsan itu mempuyai 2(dua) arti :
1. Dari segi ibadah,al-ihsan berarti meningkatkan iman & ibadah kita kepada Allah Aza Wa Jalla, dari yang fardu, kita tambah yang sunah-sunah. Dan dari yang belum khusuk,kita ciptakan suasana yang khusuk, sehingga ibadah kita seolah-olah sampai melihat Allah Aza Wa Jalla.
2. Dari segi sosial, al-ihsan berarti meningkatkan bakti sosial kita. Kita cinta kepada orang lain sebagaimana mencintai diri sendiri. Kita maafkan jika mereka berbuat salah. Kita selalu memberikan yang terbaik bagi sesama muslim.
Ikhwah fillah rohimakumullah
Demikianlah al-ihsan yang diperintahkan Allah Aza Wa Jalla kepada kita semua, yang seyogyanya harus kita laksanakan dalam upaya meningkatkan iman & ibadah kita kepada Allah dan juga dalam upaya meningkatkan cinta kasih & bakti sosial kita kepada sesama. Sekian, semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin... amin... ya mujibas sa’ilin.

Senin, 24 Oktober 2011

Mengqodho Puasa Orang yang Sudah Meninggal

Ikhwah fillah rohimakumullah.
Marilah kita senantiasa memanjatkan puji syukur kepada Allah Aza Wa Jalla, atas limpahan nikmat iman,islam & ihsan serta kesehatan dan kesempatan yang diberikan kepada kita yang tak terhingga ini. Sholawat serta salam semoga selalu tercurah kepada baginda Rosulullah saw,beserta keluarga,sahabat & para pengikutnya yang senantiasa istiqomah dijalan dakwah.

Tentang kewajiban ahli waris menqodho puasa orang tuanya, memang hal ini telah menjadi pembahasan para ulama dan menghasilkan pendapat yang beragam. Yang perlu diketahui adalah kondisi pada saat meninggal, jika seorang sedang sakit atau safar dalam bulan ramadhan lalu meninggal di dalamnya, maka sesungguhnya tidak ada qodho baginya –juga bagi ahli warisnya- karena yang bersangkutan belum menjalani hari-hari lainnya (diluar ramadhan) “ faiddzatun min ayyamin ukhor”. Maka yang dimaksud ada kewajiban qodho disini adalah, seorang yang sakit lalu tidak berpuasa di bulan ramadhan, lalu ia sembuh dan mendapati (hari-hari lain di luar ramadhan ) untuk menqodho maka itulah yang wajib diqodho.

Jika seseorang meninggal sebelum menyelesaikan qodho puasanya, maka menurut pendapat ulama hal tersebut bisa ditebus atau dibayarkan oleh ahli warisnya melalui salah satu dari dua hal :

Pertama, yaitu dengan mengqodho puasa atau menjalankan puasa atas nama orang tua yang sudah meninggal. Pendapat ini dikuatkan dengan hadits dari Rasulullah SAW :
“ Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya yang nanti akan mempuasakannya. ”(HR Muslim dari Aisyah)

Begitu pula hadits lain dari Ibnu Abbas ra, ia berkata : “ ada seseorang yang mendatangi nabi SAW , kemudian dia berkata, “wahai rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, dan dia memiliki utang puasa selama sebulan, apakah aku harus mempuasakannya?” kemudian nabi SAW bersabda, “iya. utang pada Allah lebih pantas engkau tunaikan.”(HR. Bukhori Muslim)

Para ulama menyatakan bahwa hal diatas bukanlah kewajiban namun sunnah. Dr. Yusuf Qardhawi menambahkan bahwa ini adalah salah satu bentuk birrul walidain dan silaturahim semata, karena pada dasarnya seseorang tidak dituntut untuk menanggung beban ibadah dari orang lainnya. Karenanya boleh diqodho namun bukan sebuah kewajiban bagi ahli warisnya.

Kedua, dengan membayarkan fidyah sebanyak hari-hari yang menjadi tanggungan. Membayar fidyah disini adalah sebuah kewajiban, yang diutamakan dikeluarkan terlebih dahulu dari harta warisan yang ditinggalkan, karena hal ini termasuk dalam “hutang” yang disebutkan dalam ayat tentang warisan dengan lafadz “ min bakdi wasiiyatin au dain” (yaitu pembagian warisan setelah ditunaikan dulu wasiat dan hutang mereka yang meninggal).

Jadi, pendapat yang kedua dengan membayar fidyah insya Allah sudah mencukupi, dan lebih memudahkan bagi para ahli waris secara umum. Wallahu a’lam bisshowab.

Semoga bermanfaat, Amin ya Robbal 'alamin.

Sabtu, 22 Oktober 2011

PERINTAH MENGIKUTI TUNTUNAN ALLAH DAN RASULNYA


UNTUK MEMPEROLEH KEBAHAGIAAN HIDUP YANG ABADI

"Wahai orang-orang yang beriman sambutlah seruan Allah dan Rasul apabila menyeru kalian untuk (keselamatan) hidup kalian. Ketahuilah bahwa Allah memisahkan antara manusia dengan hatinya, dan sesungguhnya kepadaNya kalian akan dikumpulkan. Dan jagalah diri kalian dari siksaan yang menimpa tidak khusus pada orang-orang yang zhalim diantara kalian saja. Dan ketahuilah! Sesungguhnya Allah sangat keras siksaanNya."
(Q.S.8 Al-Anfal 24-25)

Dalam ayat ini Allah Aza Wa Jalla memberikan tuntunan kepada hamba-hambaNya untuk menempuh jalan yang menuju kepada kebahagiaan abadi. Allah Maha Mengetahui akan amal lahir dan batin dan sangat dekat kepada manusia.
Dalam ayat ini Allah Aza Wa Jalla memanggil hambaNya dengan julukan yang khusus yaitu kaum beriman yang percaya kepada Allah dan RasulNya yang percaya dengan sepenuh hati sehingga memperoleh cahaya iman. Setelah dipanggil, diperintahkan agar menyambut seruan Allah dan RasulNya yang menganjurkan untuk tetap berjalan di atas hak dan menegakkan kebenaran yang menyebabkan kehidupan yang baik. Seruan yang menyebabkan kehidupan yang baik itu tidak lain berupa panggilan beriman, melaksanakan dan mempertahankan Alquran, jihad serta segala perbuatan taat.
Menyambut seruan ini menghasilkan kehidupan yang abadi sedang menolak seruan akan menjerumuskan manusia ke alam mati yang hakiki, tetap dalam kebodohan.
Allah Aza Wa Jalla memisahkan antara manusia dengan hatinya,sehingga terpisahkan antara manusia kafir dengan manusia ta'at karena hatinya itu. Manusia yang tertutup hatinya termasuk manusia celaka, sedang manusia ta'at akan dihalangi perbuatan ma'siatnya sehingga termasuk manusia bahagia.
Allah yang menggerakkan hati manusia dan menjelmakan segala lintasan hari untuk menerima ajakan dan memiliki aqidah. Segalanya berasal dari Allah Aza Wa Jalla.
Diperintahkan seluruh manusia untuk bergegas melakukan amal shaleh, tidak melambat-lambatkan diri seolah-olah akan panjang umur. Allah yang menetapkan dan menilai segala amal manusia, sehingga akan diperoleh ganjaran atau siksaan.
Kewajiban manusia ialah ta'at dan patuh akan tuntunan Allah dan kelak seluruhnya kembali kepadaNya dan memperoleh balasan tergantung pada tingkat keta'atannya kepad Allah.
Dalam ayat selanjutnya (Q.S.Al-Anfal:25) Allah Aza Wa Jalla, mengingatkan dengan keras agar kaum Mu'minin menghindari diri dari fitnah. Peringatan ini diberikan dengan ancaman bahwa Allah Maha Keras siksaanNya, baik siksaan dunia ataupun siksaan akhirat. Siksaan akan diberikan kepada orang-orang yang membiarkan kemungkaran berlaku dalam kehidupan serta meremehkan amar ma'ruf nahi munkar.
Fitnah itu tidak hanya terkena kepada orang-orang yang zhalim, akan tetapi akan terkena kepada penghuni dunia, baik yang shaleh ataupun yang jahat. Allah akan bertindak menurut iradat kekuasaanNya, meliputi berbagai hikmat yang dalam, sulit terselami oleh akal manusia yang sempit.

Ya Rabb, kami berlindung diri dari siksa neraka jahanam ataupun siksa qubur, dari fitnah hidup dan sakaratul maut dan dari fitnah masihid dajjal. Amin... amin... ya rabbal 'alamin.
Semoga bermanfaat.

Kamis, 20 Oktober 2011

NASIHAT RASULULLAH SAW

Dari Mu'adz bin Jabal R.A, ia berkata, "Pernah aku bersama
Rasulullah SAW dalam suatu perjalanan. Pada suatu hari aku dekat
sekali dengan beliau kala kami sama-sama menapakan kaki. Aku ber-
kata, "Wahai Rasulullah, beritahulah aku tentang sesuatu perbuat
an yang dapat menghantarkan aku masuk surga dan menjauhkan diriku
dari neraka."
Beliau bersabda,"Kamu telah bertanya tentang sesuatu yang
besar. Hal itu sangat mudah bagi orang yang dimudahkan Allah bagi
nya. Hendaklah kamu menyembah Allah, tidak menyekutukan-Nya de-
ngan suatu apapun, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa
Ramadhan, dan menunaikan haji di Baitul Haram."
Kemudian beliau melanjutkan lagi,"Maukah kamu kutunjukkan
pintu-pintu kebaikan?"
"Baik ya Rasulullah," kataku.
Beliau bersabda,"Puasa adalah surga. Shadaqah dapat mema-
damkan kesalahan sebagaimana air yang memadamkan api. Shalat yang
didirikan seseorang di tengah malam adalah syi'ar orang-orang sha-
leh." Lalu beliau membaca ayat Al-Qur'an:
"Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka
berdo'a kepada Rabbnya dengan rasa takut dan harap, dan mereka
menafkahkan sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka. Seo-
rang pun tidak mengetahui apa yang di sembunyikan untuk mereka, ya
itu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata seba-
gai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan."
Beliau bersabda lagi,"Maukah kamu kuberitahu tentang pang-
kal masalah, tonggak, dan yang paling tinggi kedudukannya?"
"Baiklah ya Rasulullah," kataku.
"Pangkal masalah adalah Islam. Tonggaknya adalah shalat,
dan yang paling tinggi kedudukannya adalah jihad."
"Maukah kamu kuberitahu sendi dari semua itu?"
"Tahanlah ini atas dirimu," sabda beliau sambil menunjuk
lidah.
"Wahai Rasulullah, bagaimana kita dapat melakukannya pada-
hal kita berbicara dengan lidah?," kataku.
"Wahai Mu'adz, ibumu akan bersedih karena kematianmu. Apa-
kah manusia menjerumuskan wajahnya ke dalam api atau berkata de-
ngan dengusan hidungnya kecuali diakibatkan oleh lidahnya?"

Itulah sedikit kutipan dari kisah Mu'adz bin Jabal R.A ketika bersama Rosulullah SAW, semoga kita bisa mengambil ibroh / pelajaran dalam kehidupan sehari-hari. Wallahu ‘alam bi showwab.

Kamis, 07 Juli 2011

Sholat Dhuha

Keutamaan Shalat Dhuha

7/07/2011 Posted by Agus Susanto

Demi Dhuha (waktu matahari sepenggalahan naik )dan demi malam apabila telah sunyi (gelap) Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu”
(QS: Adh-Dhuha: 1-3)

Dalam ayat ini Allah swt bersumpah dengan waktu dhuha, yakni saat matahari sepenggalahan naik, atau sekitar pukul 07.00 pagi hingga pukul 11.00 menjelang siang. Bersumpahnya Allah dengan waktu dhuha ini, menunjukkan bahwa waktu dhuha amat sangat penting.

Rasulullah saw selalu melazimkan shalat sunnah di waktu dhuha, atau yang dikenal dengan shalat dhuha. Bahkan Rasulullah saw pernah berwasiat kepada Abu Hurairah untuk melazimkan shalat dhuha ini. Sebagaimana Abu Hurairah menceritakan, “Kekasihku Abul Qosim (Rasulullah saw) berwasiat kepadaku dengan tiga hal: yakni (mengerjakan) shalat witir sebelum tidur, puasa tiga hari di setiap bulan, dan mengerjakan dua rakaat shalat dhuha” (HR: Muslim).


Bahkan dalam hadits lain Rasulullah saw menjelaskan bahwa shalat dhuha dapat mencover berbagai amal kebaikan dan sedekah. Sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Setiap pagi setiap tulang (persendian) dari kalian akan dihitung sedekah, oleh karena itu setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, amar ma’ruf (memerintah kebaikan) adalah sedekah, nahi munkar (mencegah kemungkaran) adalah sedekah, dan hal itu cukup dilakukan dengan mengerjakan dua rakaat shalat dhuha” (HR; Muslim)

Dalam hadits lain, Rasulullah menyampaikan hadits qudsi (hadits yang merupakan firman Allah swt namun redaksinya dari Nabi saw) bahwa dengan shalat dhuha, Allah SWT akan menjamin kebutuhan orang yang melaksanakannya. Dari Nuaim bin Himan al-Ghothofani, dari Rasulullah saw , dari Tuhannya berfirman, “Hai anak Adam, shalatlah untuk-Ku empat rakaat di permulaan siang, maka akan Aku cukupkan engkau di penghujungnya”.

Selain itu, keutamaan shalat dhuha juga menyamai pahala ibadah umroh. Ini tentu saja menjadi kabar gembira untuk kita semua yang sudah rindu ke tanah suci. Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa berjalan hendak melaksanakan shalat wajib sedangkan dia dalam keadaan bersuci, maka seperti pahala orang berhaji yang sedang ihram. Dan barangsiapa berjalan hendak mengerjakan shalat dhuha, tidak ada tujuan lain kecuali shalat itu, maka pahala seperti orang melaksanakan umroh, dan mengerjakan shalat dengan shalat lain tanpa diselingi perbuatan sia-sia, maka dia ditulis sebagai golongan-golongan orang yang mendapat tempat yang tinggi”,

Shalat dhuha dapat dilakukan sebanyak dua, empat, enam, delapan hingga dua belas rakaat, sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits di atas. Di antara hadits lain yang menjelaskan hal itu adalah sebagai berikut:

Dari Abdullah bin umar ra berkata, aku bertemu Abu Dzar dan berkata padanya, “wahai paman!, berilah kepadaku kilasan kebaikan”. Abu Dzar berkata, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw, seperti yang engkau tanyakan padaku, maka Rasulullah saw bersabda, “Jika engkau mengerjakan shalat dhuha dua rakaat maka engkau tidak tercatata sebagai golongan orang-orang yang lalai, jika engkau mengerjakan shalat dhuha empat rakaat maka engkat tertulis sebagai golongan orang-orang yang berbuat baik (muhisnin), jika engkau mengerjakan shalat dhuha enam rakaat, maka engkau ditulis sebagai golongan orang-orang yang mempunyai kehormatan, jika engkau mengerjakan shalat dhuha delapan rakaat maka engkau ditulis sebagai golongan orang-orang yang mendapat keberuntungan, dan jika engkau mengerjakan shalat dhuha sepuluh rakaat, maka tidak ditulis padamu di hari itu suatu dosa, dan jika mengerjakannya duabelas rakaat, maka Allah akan membangun untukmu istana di surga (hadis ini juga terdapat dalam kitab al-jami’)

Hadist di atas diperkuat dengan hadits lain yang berkaitan dengan keutamaan shalat dhuha. Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya di dalam surga itu ada sebuah pintu yang disebut pintu Dhuha, jika datang hari kiamat maka pintu itu memanggil-manggil, ‘manakah orang-orang yang selalu melazimkan shalat dhuha? Inilah pintu kalian, masuklah ke dalamnya dengan rahmat Allah!” (Abu Hurairah)

Adapun cara pelaksanaan shalat dilakukan seperti shalat-shalat sunnah lain, hanya saja niatnya adalah melaksanakan shalat dhuha. Demikian juga bacaan surah, dibolehkan membaca surat apa saja dari al-quran setelah membaca surat al-fatihah, akan tetapi disunnahkan membaca surat asy-syams pada rakaat pertama setelah membaca al-fatihah, dan surat adh-dhuha pada rakaat kedua setelah bacaan al-fatihah. Sebagaimana hadits saw: Dari Uqbah bin Amir ra berkata, “Kami diperintahkan Rasulullah saw mengerjakan shalat dhuha dua rakaat dengan membaca dua surat, yakni wasy-syamsi wa dhuha-ha (surat asy-Syams), dan wadh-dhuha (surat adh-Dhuha).

Melihat keutamaan shalat dhuha di atas, kita perlu mengalokasikan waktu untuk melaksanakannya di tengah-tengah kesibukan kita bekerja. Sebab, dengan shalat dhuha tersebut, usaha duniawi kita akan terbantukan dalam menggapai kesuksesan. Untuk itu jika mungkin kita berangkat ke tempat kerja dalam keadaan suci sambil membawa sajadah, dan bisa melakukan shalat dhuha di samping meja kerja kita, atau di tempat kerja kita barang 5 sampai 10 menit.

Bagi sekolah-sekolah Islam serta pengusaha muslim, ada baiknya sebelum memulai pekerjaan dan sebelum mengajar anak didik, para guru dan karyawan melaksanakan shalat dhuha, sehingga keberkahan demi keberkahan akan datang kepada kita. Amin ya Rabbal ‘alamin.

Senin, 04 Juli 2011

Tentang Bulan Sya'ban

Beberapa Perkara Terkait

Bulan Sya'ban

Tentang Bulan Sya'ban


  • Bulan Sya'ban adalah bulan ke 8 dalam penanggalan Hijriah. Terletak antara dua bulan yang mulia, yaitu Rajab dan Ramadan. Karenanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda ketika ditanya tentang bulan Sya'ban,


ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاس عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ


"Inilah bulan yang sering disepelekan orang, terdapat antara Rajab dan Ramadan."


(HR. Ahmad dan Nasa'i, dinyatakan hasan oleh Al-Albany dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, 1898)


Keistimewaan Bulan Sya'ban dan Puasa Di Dalamnya


  • Keistimewaan bulan Sya'ban, dinyatakan dalam kelanjutan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di atas;


وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ


"Dia adalah bulan diangkatnya amal-amal (manusia) kepada Tuhan semesta Alam. Maka aku ingin ketika amalku sedang diangkat, aku sedang berpuasa."


(HR. Ahmad dan Nasa'i, dinyatakan hasan oleh Al-Albany dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, 1898)


Karena itu, berdasarkan riwayat shahih disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berpuasa pada sebagian besar hari di bulan Sya'ban. Sebagaimana perkataan Aiysha radhiallahu anha,


... فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ (متفق عليه)


"Aku belum pernah melihat Rasulullah saw menyempurnakan puasanya dalam sebulan selain bulan Ramadan, dan tidak aku lihat bulan yang di dalamnya beliau paling banyak berpuasa selain bulan Sya'ban."


  • Dalam riwayat Bukhari (1970) dari Aisyah radhiallahu anha, dia berkata,

"Tidak ada bulan yang Nabi shallallahu alaihi wa sallam lebih banyak berpuasa di dalamnya, selain bulan Sya'ban. Sesungguhnya beliau berpuasa Sya'ban seluruhnya."

Maksud hadits ini adalah bahwa beliau berpuasa pada sebagian besar hari-hari di bulan Sya'ban, berdasarkan perbandingan riwayat-riwayat lainnya yang menyatakan demikian. Dalam ungkapan bahasa Arab, seseorang boleh mengatakan 'berpuasa sebulan penuh' padahal yang dimaksud adalah 'berpuasa pada sebagian besar hari di bulan itu'. Ada juga yang memahami bahwa kadang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh di bulan Sya'ban, tapi kadang (di tahun lain) beliau berpuasa sebagian besarnya. Ada pula yang mengatakan bahwa pada awalnya beliau berpuasa pada sebagian besar bulan Sya'ban, namun pada akhir hidupnya beliau berpuasa Sya'ban sebulan penuh.

Penafsiran pertama lebih kuat, berdasarkan riwayat-riwayat lain yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sering berpuasa di bulan Sya'ban melebihi puasa di bulan lainnya, dan bahwa Beliau belum pernah berpuasa sebulan penuh selain Ramadan. Wallahua'lam.


(Lihat: Fathul Bari, 4/213)

  • Berdasarkan hadits di atas, keutamaan puasa di bulan Sya'ban memiliki dua alasan;


- Karena di bulan ini amal manusia diangkat untuk dilaporkan.

- Karena bulan ini dianggap sebagai bulan yang banyak disepelekan orang, karena terletak di antara dua bulan utama. Beribadah di saat orang lalai, memiliki keutamaan lebih dibanding beribadah disaat yang lainnya semangat beribadah. Meskipun kedua-duanya adalah kebaikan.

  • Puasa di bulan Sya'ban, selain hikmah yang disebutkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits di atas, oleh para ulama juga dimaknai sebagai penyambutan dan pengagungan terhadap datangnya bulan Ramadan. Karena ibadah-ibadah yang mulia, umumnya diawali oleh pembuka yang mengawalinya. Seperti ibadah haji diawali dengan persiapan ihram di miqat, atau ibadah shalat yang diawali dengan bersuci dan persiapan-persiapan lainnya yang dimasukkan dalam syarat-syarat shalat. Di samping hal ini akan membuat tubuh mulai terbiasa untuk menyambut ibadah puasa sebulan penuh di bulan Ramadan.


Di sisi lain, Para ulama menyebutkan bahwa ibadah puasa di bulan Sya'ban, ibarat shalat Rawatib (sebelum dan sesudah) shalat Fardhu. Sebab sebelum Ramadan disunnahkan banyak berpuasa di bulan Sya'ban, dan sesudah Ramadan, disunnahkan berpuasa enam hari bulan Syawwal.


(Lihat: Tahzib Sunan Abu Daud, 1/494, Latha'iful Ma'arif, 1/244)

Malam Nishfu Sya'ban (pertengahan Sya'ban)


  • Terkenal di tengah masyarakat keutamaan malam nishfu Sya'ban (pertengahan bulan Sya'ban). Hadits-hadits terkait dalam masalah ini sebagian dikatagorikan dha'if (lemah), bahkan sebagian lagi dikatagorikan maudhu (palsu) oleh para ulama hadits. Khususnya hadits-hadits yang mengkhususkan ibadah tertentu pada malam tersebut atau hadits-hadits yang menjanjikan jumlah dan bilangan pahala atau balasan tertentu bagi yang beribadah di dalamnya.

  • Akan tetapi, ada sebuah hadits yang berisi tentang keutamaan malam Nisfhu Sya'ban yang bersifat umum, tanpa mengkhususkan ibadah-ibadah tertentu. Yaitu hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,


إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ ، فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ


"Sesungguhnya Allah memeriksa pada setiap malam Nisfhu Sya'ban. Lalu Dia mengampuni seluruh makhluk-Nya, kecuali orang musyrik atau orang yang sedang bertengkar (dengan saudaranya)."


Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah (1390). Dalam Zawa'id Ibnu Majah, riwayat ini dinyatakan dha'if karena adanya perawi yang dianggap lemah.


Namun hadits ini juga diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Mu'jam Al-Kabir dari shahabat Mu'az bin Jabal (215). Ibnu Hibban juga mencantumkan dalam shahihnya (5665), begitu pula Imam Ahmad mencantumkan dalam Musnadnya (6642). Al-Arna'uth dalam ta'liq (komentar)nya pada dua kitab terakhir tentang hadits tersebut, berkata, "Shahih dengan adanya syawahid (riwayat-riwayat semakna lainnya yang mendukung)."


Al-Albani memasukkan hadits ini dalam kelompok hadits-hadits shahih dalam kitabnya Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah (1144), juga dalam kitabnya Shahih Targhib wa Tarhib (1026).


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Adapun malam Nishfu Sya'ban, di dalamnya terdapat keutamaan." (Mukhtashar Fatawa Mishriyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 291)


  • Karena itu, ada sebagian ulama salaf dari kalangan tabi'in di negeri Syam, seperti Khalid bin Ma'dan dan Luqman bin Amir yang menghidupkan malam ini dengan berkumpul di masjid-masjid untuk melakukan ibadah tertentu. Dari merekalah kemudian kaum muslimin membudayakan berkumpul di masjid-masjid pada malam Nisfhu Sya'ban dengan melakukan ibadah tertentu untuk berdoa dan berzikir. Ishaq bin Rahawaih menyetujui hal ini dengan berkata, "Ini bukan bid'ah."


Akan tetapi, sebagian ulama Syam lainnya, di antaranya Al-Auza'i yang dikenal sebagai Imam ulama Syam, tidak menyukai perbuatan berkumpul di masjid-masjid untuk shalat dan berdoa bersama pada malam ini, namun mereka membenarkan seseorang yang shalat khusus pada malam itu secara pribadi (tidak bersama-sama). Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Rajab Al-Hambali, begitu juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.


Lebih keras dari itu adalah pandangan mayoritas ulama Hijaz, sepeti Atha, Ibnu Mulaikah, juga ulama Madinah dan pengikut Mazhab Maliki, mereka menganggapnya sebagai perbuatan bid'ah.


(Lihat: Latha'iful Ma'arif, Ibnu Rajab Al-Hambali, hal. 151, Mukhtashar Fatawa Al-Mishriyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 292)


Namun, jika seseorang qiyamullail pada malam itu sebagaimana qiyamullail disunnahkan pada umumnya malam, atau berpuasa di siang harinya karena termasuk puasa Ayyamul Bidh (pertengahan bulan) yang disunnahkan, maka hal tersebut jelas tidak mengapa.

Qadha puasa Ramadan


  • Apa kaitannya qadha puasa Ramadan dengan bulan Sya'ban?


Aisyah radhiallahu anha berkata,


كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلاَّ فِي شَعْبَانَ ، الشُّغُلُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم


"Aku dahulu memliki hutang puasa Ramadan, aku tidak dapat mengqadanya kecuali di bulan Sya'ban, karena sibuk melayani Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam." (Muttafaq alaih)


Berdasarkan hadits ini, umumnya para ulama berpendapat bahwa kesempatan melakukan qadha puasa Ramadan terbuka hingga bulan Sya'ban sebelum masuk bulan Ramadan berikutnya. Namun, jika tidak ada alasan khusus, seseorang dianjurkan segera mengqadhanya. Bahkan sebagian ulama menyatakan agar mendahulukan qadha Ramadan sebelum puasa Syawal atau puasa sunah lainnya. Sebab berdasarkan hadits Aisyah di atas, dia baru sempat melakukan qadha di bulan Sya'ban, karena ada alasan, yaitu melayani Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Maka pemahamannya, jika seseorang tidak memiliki alasan atau uzur syar'i, hendaknya dia menyegerakan membayar qadha puasanya.


(Lihat: Syarah Muslim, Imam Nawawi, 8/21, Fathul Bari, 4/189)


  • Apabila hutang puasa itu belum juga terbayar hingga bertemu Ramadan berikutnya karena ada alasan tertentu yang membuatnya tidak dapat mengqadha puasa Ramadan sebelumnya, maka tidak ada kewajiban apa-apa baginya selain mengqadha puasanya setelah Ramadan berikutnya.


Jika tidak ada halangan bagi seseorang untuk mengqadha puasanya, namun tidak juga dia lakukan hingga datang Ramadan berikutnya, maka hendaknya dia bertaubat dan istighfar atas kelalaiannya menunda-nunda kewajiban. Disamping itu, dia tetap harus mengqadhanya setelah bulan Ramadan berikutnya.


Sebagian ulama mengharuskan orang seperti itu untuk memberikan setengah sha' makanan pokok (sekitar 1,5 kg) kepada seorang miskin untuk setiap satu hari puasa yang dia tinggalkan sebagai peringatan atas kelalaiannya, disamping kewajiban mengqadha puasanya. Berdasarkan ijtihad para shahabat dalam masalah ini. Namun sebagian lain berpendapat tidak ada kewajiban akan hal tersebut, karena tidak ada nash yang dengan tegas menetapkannya. Akan tetapi ijtihad tersebut dianggap baik.


(Fathul Bari, 4/189, Al-Ilmam Bisyai'in min Ahkam Ash-Shiyam, Syekh Abdul Aziz Ar-Rajihi, 30)


  • Jika telah masuk bulan Sya'ban, hendaknya setiap muslim mengingatkan dirinya atau orang-orang terdekat (khususnya kaum wanita yang umumnya suka memiliki hutang puasa) apabila memiliki hutang puasa Ramadan sebelumnya, agar segera ditunaikan sebelum datang Ramadan berikutnya.

Puasa Di Akhir Sya'ban


  • Sehari atau dua hari terakhir bulan Sya'ban sebelum Ramadan, dinamakan sebagai Yaumusy-Syak (hari keraguan). Dikatakan demikian, karena pada hari tersebut tidak jelas apakah sudah masuk bulan Ramadan atau belum. Pada hari tersebut, seseorang dilarang berpuasa jika tujuannya sekedar ingin hati-hati agar tidak ada hari yang tertinggal dari bulan Ramadan. Yang diperintahkan adalah memastikan datangnya bulan Ramadan dengan terlihatnya hilal Ramadan. Kalau hilal tidak terlihat, maka bulan Sya'ban digenapkan menjadi tiga puluh hari berdasarkan riwayat shahih dalam masalah ini.


  • Namun dibolehkan berpuasa pada hari tersebut (sehari atau dua hari sebelum Ramadan) apabila pada hari itu bertepatan dengan hari-hari sunnah berpuasa yang biasa dia lakukan (seperti Senen dan Kamis), atau dia berpuasa karena hendak membayar qadha puasanya, atau nazar atau kaffarat.


Berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,


لا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ ، إلاَّ رَجُلاً كَانَ يَصُومُ صَوْماً فَلْيَصُمْهُ (متفق عليه)


"Jangan kalian mendahulukan Ramadan dengan berpuasa sehari atau dua hari (sebelumnya). Kecuali seseorang yang (memang seharusnya/biasanya) melakukan puasanya pada hari itu. Maka hendaklah ia berpuasa." (Muttafaq alaih).


  • Di antara hikmah pelarangan ini adalah agar ada pemisah antara puasa Ramadan yang fardhu dengan puasa-puasa sunah sebelum dan sesudahnya. Maka, dilarang puasa sehari atau dua hari sebelumnya dan dilarang pula puasa sehari sesudahnya, yaitu pada hari Idul Fitri.


(Lihat: Syarah Muslim, Imam Nawawi, 7/194, Latha'iful Ma'arif, hal. 151, Syarh Umdatul Ahkam, Syekh Jibrin, 30/2)

Wallahu ta'ala a'lam.


اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي شَعْبَانَ وَوَفِّقْنَا فِيهِ ، وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ


"Yaa Allah, berilah kami barokah dan taufiq di bulan Sya'ban,

dan pertemukan kami dengan Bulan Ramadan.."


Riyadh, Sya'ban 1432 H